“Nah.. ini.. Pasti 'anaaak Betawii.. ketinggalan jamaan.. ketenyee..'.” kata seorang penonton perempuan di sebelah saya, saat lampu ruangan meredup dan layar bioskop mulai melebar. Bukan berbisik. Tapi setengah teriak. Seakan ingin agar orang-orang mendengarnya.
Tebakannya memang benar, walau lagu legendaris itu cuma diputar sebentar. Permulaan Si Doel The Movie kemudian menyorot rumah khas Betawi yang ditinggali Doel (Rano Karno), Mandra, Mak Nyak Lela (Aminah Cendrakasih), Zainab (Maudy Koesnaedi), dan Atun (Suti Karno).
Ia terlihat makin antusias. Juga teman-temannya yang memborong hampir seluruh kursi baris C di bioskop Cinema XXI Pejaten Village. Saya kedapatan sisanya di sisi paling pojok.
Di hari pertama pemutaran, Kamis (2/8/2018), kursi penuh hingga ke baris paling depan yang biasanya kosong. Usia penonton terlihat rata-rata 25 ke atas, atau mereka yang dulu sempat menonton serial Si Doel Anak Sekolahan di televisi.
Film diawali dengan pamitannya Doel dan Mandra sebelum berangkat ke Amsterdam, Belanda, atas undangan Hans (Adam Jagwani). Hans meminta keduanya mengantar barang-barang khas Jakarta untuk dipamerkan di Tong Tong Fair, festival tahunan terbesar di dunia untuk budaya Indo (Eropa-Indonesia).
Atun sudah punya satu anak yang masih SD. Ia jadi single mom sepeninggal Mas Karyo (Basuki). Di kesehariannya Atun masih bertugas mengurus rumah.
Atun kini dibantu oleh Zaenab, istri siri Doel, yang masih diperankan oleh Maudy Koesnaedi. Zaenab masih tampak sebagai perempuan desa yang lembut dengan rasa cintanya pada Doel yang tak perlu diragukan lagi.
Mak Nyak cuma tiduran di ranjang. Badannya lumpuh. Matanya buta akibat penyakit glukoma. Kepada Mandra ia berpesan untuk tidak merepotkan selama berada di negeri orang. Kepada Doel ia beramanat untuk tidak perlu menemui Sarah—sesuatu yang akhirnya ia langgar.
Hampir seluruhnya diatur Hans, yang kelak mengabari Sarah saat Doel sampai di Amsterdam. Ia yang mengajak Mandra untuk mengurus barang-barang yang akan dipamerkan di Tong Tong Fair, sementara Doel disuruh jalan-jalan di Museum Tropen, tempat ia bertemu dengan Sarah.
Doel masih irit kata dan lebih banyak bermain gimmick. Tatapannya nanar, seakan tak percaya bahwa perempuan yang ada di hadapannya adalah Sarah. Maklum, mereka telah berpisah selama 14 tahun.
Sarah menyinggung hal-hal nostalgis. Salah satunya saat ia dan Doel jalan-jalan ke Museum Nasional Indonesia di awal perkenalan, yang dianggap Sarah seperti kencan pertama. Romantis dan berkesan, sebab saat itu ia memang tertarik dengan Doel, tapi Doel susah diajak jalan.
Doel tidak pernah berniat untuk bertemu Sarah. Tapi dari pertanyaan-pertanyaannya kepada Hans saat baru sampai di Belanda menyiratkan sebaliknya.
Ia masih penasaran dengan nasib istri (pertama) yang meninggalkannya dalam kondisi hamil. Perempuan yang tak mampu ia cari karena tak tahu di mana rimbanya, juga tak bisa ia upayakan sebab perjalanan ke Eropa amat berat baginya secara finansial sebagai insinyur lepas di Jakarta.
Zaenab barangkali terlalu polos hingga bertahun-tahun kemudian baru ia ketahui dari Atun bahwa Hans adalah saudara Sarah. Ia pun mulai mencurigai perjalanan suaminya ke Belanda.
Doel hanya memberi kabar di awal ketika ia baru sampai di Belanda. Di hari-hari selanjutnya ia diam. Sikap ini otomatis membuat Zaenab gelisah tak karuan. Ia menumpahkan keluh kesah kepada Atun, dan diam-diam menangis sendirian.
Nostalgia adalah motivasi utama yang menggerakkan orang-orang untuk menonton film ini. Ada kenangan yang membekas selama dulu mengikuti puluhan episode Si Doel Anak Sekolahan. Mulai dari penayangan perdananya pada tahun 1994 hingga episode penghabisan pada tahun 2006.
Sinetron itu bisa bertahan selama lebih dari satu dekade sebab menawarkan pergulatan keluarga Doel dalam mempertahankan nilai-nilai tradisionalitas di tengah arus modernitas yang melaju kencang di Jakarta.
Ada banyak karakter yang unik dan organik. Namun, sebagai drama, Si Doel Anak Sekolahan sukses menghanyutkan penonton berkat kegalauan Doel saat berhadapan dengan dua perempuan yang menarik hatinya di waktu yang bersamaan.
Zaenab mewakili perempuan Betawi yang tumbuh besar di keluarga yang konservatif. Ia polos dan tidak punya obsesi atas karier atau pendidikan tinggi. Sarah berada di sisi seberang: modern, berpendidikan tinggi, dan aktif—terutama saat menggaet hati Doel. Cinta Zaenab juga besar, tapi ia lebih pasif.
Rano Karno tahu bahwa kisah cinta segitiga Doel-Sarah-Zaenab adalah jualan utama sinetronnya. Perselisihan antar kedua perempuan cantik itu ia abadikan di banyak adegan, termasuk dalam jawaban Sarah saat Doel melamarnya:
“Aku terima lamaranmu dengan syarat... Gak usah banyak tamu yang diundang, termasuk Zaenab!”
Setelah melalui beragam tikungan, toh ujung-ujungnya Doel memilih Sarah, sedangkan Zaenab kawin dengan lelaki lain.
Tuntas? Belum. Di musim terakhir, dengan tajuk Si Doel Anak Gedongan, kegalauan itu berlanjut hingga akhirnya Sarah minggat ke Belanda. Zaenab cerai dengan suaminya, dan akhirnya ia bisa bersanding dengan Bang Doel.
Tak Cukup Bermodal Nostalgia
Saya tidak terlalu terkejut jika Si Doel The Movie masih meneruskan polemik Doel-Sarah-Zaenab. Film adalah medium yang memampatkan narasi ke dalam durasi rata-rata 1,5-2,5 jam. Rano Karno mesti memilih angle utama, dan tiada yang lebih menarik selain kisah cinta segitiga itu.Sayangnya, konflik yang dibangun kurang mengigit. Sikap super-sensitif Zaenab selama di rumah, dramatisasi pertemuan Doel dan Sarah, semuanya hanya berbasis nostalgia.
Tidak muncul persoalan-persoalan pelik yang menjadikan para tokoh kerepotan. Eksplorasi ceritanya kurang luas. Yang ada hanyalah penjelasan demi penjelasan atas masa lalu, yang sekali lagi, atas nama nostalgia.
Barangkali penonton itu juga sehati dengan saya, yang menganggap sejak dulu sumber permasalahan sesungguhnya adalah ketidaktegasan Doel.
Bayangkan jika sejak awal ia menegaskan perempuan pilihannya secara serius dan mengakhiri hubungan dengan yang tidak dipilihnya. Maka segala drama hingga yang membuat Sarah pergi ke Belanda tak akan terjadi.
Barangkali Rano tahu soal ini, namun memilih cuek saja. Alasannya tentu masuk akal dari segi bisnis. Siapa yang tak ingin ingin karyanya bertahan lama di layar kaca, disukai pemirsa, bahkan dianggap sebagai salah satu sinetron Indonesia terbaik sepanjang masa?
Saya pun tak menampik, bahwa lewat air muka dan celetukan-celetukan kecilnya, para penonton Si Doel The Movie cukup terhibur dengan kelanjutan drama Doel-Sarah-Zaenab ini. Cukup gemas dengan nasib Doel yang seakan tak bisa lepas dari polemik tersebut.
Mereka juga terhibur dengan kembalinya Mandra. Di sela-sela drama-nostalgia yang cenderung datar itu, Mandra adalah sosok penyelamat yang membuat penonton terbahak-bahak sejak persiapannya menuju Belanda.
Mandra, misalnya, sengaja meminta pramugari pesawat Jakarta-Amsterdam untuk mengencangkan sabuknya, hingga dua kali. Mandra tersiksa dengan betapa dingin suhu pesawat, khawatir saat sampai di tujuan sudah jadi es mambo. Di area tunggu Bandara Schipol, ia yang masih kedinginan juga tak malu membungkus diri dengan selembar kain sarung.
Mandra juga sosok yang membangkitkan nostalgia. Ia adalah pusat keceriaan bagi penonton, terutama lewat pertengkaran sehari-harinya dengan tokoh lain. Ia justru jadi tokoh kesayangan penonton karena selalu yang paling menderita di sepanjang sinetron.
Tren memfilmkan nostalgia agak booming dalam beberapa tahun terakhir dan mencapai puncaknya pada Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1. Film yang juga dibuat oleh rumah produksi Falcon itu meraup lebih dari 5 juta penonton serta menyalip Laskar Pelangi sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa.
Memang menguntungkan, namun dari segi kualitas diragukan. Film yang dibintangi oleh trio Abimana Aryasatya (sebagai Dono), Vino Bastian (sebagai Kasino), dan Tora Sudiro (sebagai Indro) itu rupanya garing belaka. Ini bukan penilaian saya saja, lho, tapi juga para warganet yang berceloteh di medsos usai keluar dari bioskop.
Dengan demikian, nostalgia dalam sinema tidak sesederhana mengumpulkan orang lama atau orang baru yang mirip tokoh-tokoh lama. Seluruh pihak tetap harus menjaga kualitas dari segala lini agar menghindari jenis penilaian seperti diucapkan penonton di sebelah saya saat Si Doel The Movie tutup layar:
“Udah? Gitu doang?”